Implementasi pengalaman belajar.

Intertekstual Puisi Isbedy Stiawan Tunggu Aku di Hari Minggu



Puisi merupakan curahan perasaan seorang sastrawan. Segala emosi, luapan imaji yang tertumpuk dalam hati terluapkan dengan rangkaian kata bermakna. Meskipun tak jarang, kata yang sengaja dipilih oleh sastrawan berupa konotasi proses pemikiran kreatif seorang sastrawan. Pradopo (2010: 7) menjelaskan bahwa puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera yang berirama.
Puisi lahir sebagai hasil pemikiran seseorang yang didasarkan pada pengalaman baik yang dilihat maupun dialaminya secara langsung dan tidak langsung. Hasil pemikiran ini ter­wujud dalam untaian kata yang memiliki nilai estetis.
Objek puisi itu dapat berupa masalah-masalah kehidupan dan alam sekitar, ataupun segala kerahasiaan (misteri) di balik alam, realitas, dan dunia metafisis. Contoh yang dapat kita lihat adalah puisi karya Isbedy Stiawan yang berjudul Tunggu Aku di Hari Minggu. Puisi ter­sebut mencerminkan realita sosial pada umumnya yang biasa dirasakan seseorang.
Isbedy Stiawan adalah salah satu sastrawan era 80-an yang menjadi cikal bakal puisi modern Lampung, ia yang menandai geliat itu bersama rekan-rekannya. Isbedy Stiawan merupa­kan salah satu dari banyak sastrawan lokal yang hingga saat ini mampu menelurkan karya. Konsistensi, kekuatan, dan totalitas kepenyairan yang membuat Paus Sastra Indonesia H.B. Jassin menjulukinya Paus Sastra Lampung.


Tunggu Aku di Hari Minggu
Karya: Isbedy Stiawan
Tunggu aku di hari minggu, katamu
Saat gerimis bertamu di luar kamar

Aku pun mulai menghitung hari, jaga waktu
Hingga di hari minggu bulan Januari
Saat gerimis sering berjalan-jalan
Dan bertemulah

Kini sudah tiba Oktober
Gerimis malam bertamu
Sebuah musim sudah berubah
Kau pun tak lagi berharap:

“tunggu aku di hari minggu
Saat gerimis sampai di pembaringan
Begitu gigil aku untuk dipelukmu.”

Kau sudah jauh
Ke balik petang

Oktober-November 2011




Pada dasarnya, pemilihan judul puisi tersebut merupakan romantisme personal yang menyeret pengkritik mencari tahu apa yang ada dalam puisi tersebut. Secara garis besar, puisi tersebut mengisahkan penantian seseorang laki-laki kepada wanitanya.
Bait pertama.
Tunggu aku di hari minggu, katamu
Saat gerimis bertamu di luar kamar
Si wanita meminta pasangannya untuk menantinya dihari yang sudah ditentukan. ”Tunggu aku di hari minggu”. Si pria berusaha menceritakanya kepada pembaca dengan menggunakan persona “aku”. “Saat gerimis bertamu di luar kamar” merupakan kegelisahan pria yang kembali penyair bongkar lewat bait-baitnya.
Bait kedua.
Aku pun mulai menghitung hari, jaga waktu
Hingga di hari minggu bulan Januari
Saat gerimis sering berjalan-jalan
Dan bertemulah
Si pria bersedia menunggu dan menghitung hari kedatangannya. Hari-hari terus berganti. Hingga hari yang dijanjikannya tiba, minggu bulan Januari, mereka bertemu dan mengucap janji untuk menunggu wanitanya kembali.
Bait ketiga.
Kini sudah tiba Oktober
Gerimis malam bertamu
Sebuah musim sudah berubah
Kau pun tak lagi berharap
Lamanya waktu yang dilukiskan penyair antara Januari sampai Oktober bagi pria pada mulanya menaruh harapan yang sangat dalam, berubah rasa kecewa karena penantian itu sia-sia. “Kau pun tak lagi berharap”. Tidak seperti bait pertama “gerimis malam bertamu sebuah musim sudah berubah”. Hal itu merupakan titik balik yang dirasakan karena penantian yang panjang itu ternyata sia-sia. Metafor yang tergambarkan pada kata “gerimis” adalah air mata kegelisahan sorang laki-laki. Metafor musim adalah waktu. Namun persepsi umum tentang musim tidak selalu berlaku sama.
Secara psikolgis dan naluriah, laki-laki sesungguhnya makhluk yang manja dan butuh kasih sayang. Begitu tahannya seorang laki-laki menanti sampai pembaringan. Sesungguhnya yang menenangkan adalah wanita. Begitu kuat keinginan dan harapan dari pria dibaitkan menjadi “begitu gigil aku untuk dipelukm”.
“tunggu aku di hari minggu
Saat gerimis sampai di pembaringan
Begitu gigil aku untuk dipelukmu.”

Kau sudah jauh
Ke balik petang
Laki-laki yang tadinya menaruh harapan yang sangat dalam buat wanitanya, sekarang ia me­rasakan kekecewaan karena penantian yang sia-sia. Si wanitanya tak jua datang ke hadapan­nya. Penyair menggambarkan si wanita tidak bisa kembali kepada pria. Mungkin, teratai patah kelopak.
Tema dasar puisi tersebut adalah hubungan percintaan yang yang berakhir dengan per­pisahan. Penyair seolah menjadi orang yang romantik namun tidak egois. Mempertemukan keduanya namun tidak mempersatukan. Penyair mengemas dan menyajikan puisi tersebut begitu romantis dengan pemilihan metafor gerimis, musim, dan begitu gigil aku untuk dipelukmu.
Pada kenyataannya, puisi hadir atas jawab atau tanggapan terhadap puisi-puisi sebelum­nya atau dikenal dengan intertekstual. Intertekstual tidak selalu mengikuti, menyamakan, meng­ubah, serta mengemasi lebih menarik, tetapi juga bisa merupakan pertentangan atas puisi se­belum­nya.
Sama halnya puisi Isbedy berjudul Tunggu Aku di Hari Minggu. Puisi itu merupakan jawaban atas perubahan zaman ketika puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dilahirkan.

Hujan Bulan Juni


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Bait pertama menggambarkan seorang yang dengan tabah menanti seseorang yang ia cintai. Ia memuji penantiannya, tidak ada yang lebih tabah dari penantiannya. Pada bait ini juga menggambarkan bahwa ia menyembunyikan rasa rindunya kepada seorang yang indah, yang ia cinta. Kata pohon berbunga diartikan sebagai seorang yang indah untuk dinanti.
Bait kedua menggambarkan penantian seorang tersebut sangat bijak dan tidak ada yang melebihinya. Ia menghapus segala keraguannya dalam menanti dan mencintai seseorang tersebut. Kadang, metafora dan atau hiperbol yang biasanya digunakan untuk menyampaikan makna tidak sesekali diungkapkan. Hal itu dilakukan agar tercapai tambahan kandungan makna serta kejelasan.
Bait ketiga lagi-lagi ia memuji dirinya sendiri bahwa tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni.  Di bait ketiga ini penyair menghendaki penantiannya berbuah manis. Cintanya diterima, tercermin pada larik diserap akar pohonn bunga itu.
Banyak hal ia rasakan dalam penantiannya yang ia rahasiakan meski tak terucap. Dibiarkannya yang tak terucap, diserap akar pohon bunga itu. Hakikatnya begitulah cinta. Cinta mengerti apa yang tak diungkapkan, merasakan tanpa dijelaskan, karena cinta bukan tentang wajah nan rupawan tapi cinta itu sebuah pengertian.
Puisi tak hanya memotret pengalaman batin individu, tetapi juga konteks fakta sosial. Tak hanya menggetarkan hati, tetapi juga membantu pembaca lebih memahami isu sosial dunia nyata. Kedua puisi tersebut bertolak belakang, antara kegelisahan pria pada puisi Isbedy dengan ketabahan pria yang berbuah manis pada puisi Sapardi. Isbedy tidak serta merta terkungkung dalam makna puisi Sapardi. Ada tanggapan lain yang dijelaskan mengenai penantian seorang pria. Mungkin puisi Isbedy sangat cocok menjadi gambaran realitas saat ini. Wanita meng­inginkan kepastian. Namun disaat kepastian itu ada, wanita mencari lebih dari itu bahkan lari dari kepastian. Cerminan prilaku itu dilukiskan pada bait kau sudah jauh ke balik petang. Hal yang Nampak pula adalah ketidakmampuan dan hal yang tidak mungkin untuk bersama.
Atas cara yang sama, para penyair dari masa ke masa mengutarakan kegelisahan yang sama dengan berbagai cara penyampaiannya. Dengan berbagai citra dan perbandingan, kita sering merasa apakah puisi memunyai nilai penting karena otentitas ekspersinya atau masalah sosial yang diungkapkan penyair.
Puisi Isbedy ditulis dalam bentuk visual berupa larik yang dikumpulkan dalam bait sangat menarik. Apabila dipersonifikasikan akan memperlihatkan dimensi kehidupan yang sering tenggelam dalam banalitas, tetapi juga bisa diajak bicara dalam dialog yang memikat dan penuh inspirasi.
Licentia poetica dan ambivalensi puisi rupanya dapat menjadi fasilitas yang memungkin­kan puisi dimasuki oleh berbagai pihak dengan membawa keperluan­nya masing-masing. Ke­bebas­an penyair dalam mengoreskan tinta di atas kertas kosong tidak serta merta datang tanpa ilham. Munculnya ilham, membawa puisi semakin menarik dengan penggunaan bahasa kias, gaya bahasa, pengimajian, penggunaan bunyi, diksi, dll.
Pada dasarnya, pemilihan kata oleh penyair memberikan efek tertentu serta untuk me­nyampai­kan gagasan secara tidak langsung sehingga memiliki kekhasan tersendiri. Puisi tunggu aku di hari minggu pun terdapat manipulasi penggunaan kata, misalnya pada larik saat gerimis bertamu di luar kamar. Larik tersebut bermakna saat kegelisahan hanya bisa kurasakan.
Larik saat gerimis sering berjalan-jalan mengganggu penafsir untuk mengasumsikan. Begitu naifkah kita ketika menjawab fenomena bahwa gerimis dapat berjalan? Akan lebih menarik lagi bila larik tersebut berbunyi saat gerimis menghujani di sekitarku. Akan sama makna dan menambah keindahan puisinya.
Banyaknya metafora dan personifikasi yang dituliskan penyair membungkus kekurangan menjadi lebih indah. Adakah gerimis dengan kedua kakinya? Adakah kata yang lebih sederhana dari saat gerimis sampai dipembaringan? Sudikah menunggu seorang yang sudah jauh ke balik petang? Semua akan terjawab bila aku masih menunggu tanpa ba bi bu…
Tag : Puisi
0 Komentar untuk "Intertekstual Puisi Isbedy Stiawan Tunggu Aku di Hari Minggu"

Puisi Siswa: Hujan Karya Ghiffari Ramadhan MB

Hujan Karya: Ghiffari Ramadhan MB Hujan... Jikalau engau turun Maka kami semua akan senang Sebagai tanda  rasa syukur kami kepada T...

Back To Top