Implementasi pengalaman belajar.

INTERTEKSTUAL PUISI TJAHJONO WIDARMANTO TERHADAP PUISI CHAIRIL ANWAR


INTERTEKSTUALITAS CINTA DALAM SAJAK EMPAT EPISODE CINTA KARYA TJAHJONO WIDARMANTO DENGAN PEMBERIAN TAHU KARYA CHAIRIL ANWAR
Oleh
RIANA DWI PUTRA


Tjahjono Widarmanto adalah seorang dosen, guru, budayawan sekaligus penyair yang terus bermetaphor menuju kesepadanan hidup yang bermakna. Kebajikan jiwanya yang terus menggali potensi tidak pernah berhenti pada satu titik hingga Beliau pantas mendapatkan anugerah penghargaan Seniman dan  Budayawan dari Pemerintah Jawa Timur pada Tahun 2003. Itu semua merupakan bidang koleksi atas usaha yang terus diproduksi menjadi karya berkualitas tinggi. Produksi karyanya lebih banyak berbentuk sastra terutama puisi yang menjadi pionir seperti Marxisme: Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (2014). Bukunya yang terbit terdahulu: Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, 2013), Masa Depan Sastra: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai, 2011), dan Drama: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), Umayi (buku puisi, 2012), Kidung buat Tanah Tercinta (buku puisi, 2011), Mata Ibu (buku puisi, 2011), Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, 1997), Kubur Penyair (buku puisi, 2002), Kitab Kelahiran (buku puisi, 2003).
Puisi yang berjudul Episode Cinta telah diterbitkan dalam majalah online Horison tanggal 7 April 2015. Salah satu sajak beliau yang diakui kualitasnya. Sedekat mungkin sebagai pembaca tentu ingin mengetahui lebih dalam dan terang mengenai puisi yang terurai lancar yang di tulis oleh penyair. Penggunaan metode pendekatan yang layaknya menjadi rujukan bisa diinterprestasikan sebagai perpanjangan makna. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5). Maka hal ini dapat diketeahui secara intertekstual suatu karya. Dalam pembahasan ini akan mengurai tentang Episode Cinta karya Tjahjono Widarmanto dengan puisi Pemberian Tahu karya Chairil Anwar. Menjadi sebuah langkah awal untuk mengetahui makna dan sejarah suatu karya apakah karya tersebut bisa disejajarkan atau menjadi keterjalinan yang sebenarnya itu sebuah kebetulan.

Karya sastra mempunyai hubungan sejarah antara karya sezamannya, yang mendahului atau yang kemudian. Hubungan demikian dapat mencakup persamaan maupun pertentangannya. Untuk mendalami hubungan antar teks demikian, penting dibicarkan karya sastra tersebut dalam kaitannya dengan karya sezaman, sebelum, dan sesudahnya. Hal ini untuk mengetahui bagaimana hubungan atau kaitan antar teks yang mungkin terjadi. Dalam konteks inilah muncul metode kritik intertekstualitas, yakni metode penelitian sastra dengan jalan membandingkan, mensejajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya ( Rahmat Djoko Pradopo, 1993: 132-135).
Riffaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry (1978) dalam Rahmat Djoko Pradopo (1993: 167), mengemukakan bahwa hakikat sebuah sajak baru bermakna ketika sajak itu berkaitan dengan sajak yang lain. Hubungan yang terjadi, bisa positif (persamaan) maupun negative (bertentangan). Sebuah sajak karena itu dapat menjadi latarbelakang munculnya sajak yang lain, yang sering disebut dengan hipogram. Istilah intertekstualitas seringkali juga disebut dengan transformasi kesusasteraan ( A. Teeuw, 1994: 142). Begitulah A. Teeuw menyebutnya untuk ‘menandai’ karya sastra saduran. Maka sesungguhnya, pemahaman demikian _makna hubungan intertekstualitasnya—akan mengantarkan pembaca untuk lebih intensif dalam memahami karya sastra.

Puisi “Episode Cinta” memiliki kemiripan suasana, seting, dengan ide-ide awal Chairil Anwar. Berikut ini kasus intertekstual antara puisi sajak “ Episode Cinta” Tjahjono Windarto dengan “Pemberian tahu”
PEMBERIAN TAHU (Chairil Anwar)

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.

Kupilih kau dari yang banyak, tapi

sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.

Aku pernah ingin benar padamu,

Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,


Kita berpeluk cium tidak jemu,

Rasa tak sanggup kau kulepaskan.

Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,

Aku memang tidak bisa lama bersama

Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!
1946
EPISODE CINTA  (Tjahjono Windarto)
Episode 1: Mozaik Cinta
hujan selalu turun dengan rintik yang sama, namun aku tak pernah bosan menungguinya
karena dalam garis-garis hujan, engkau selalu menari bersama ikan-ikan
: gemulai dan amat seksi. belum telanjang tapi lebih birahi dari egala bugil.
olala, kekasihku. ringkik kuda di taman. lirih jangkrik di semak. siapa menyimaknya?
lari. larilah bersama ringkiknya. kita berkejar-kejaran dalam seribu labirin
di antara rinai garis hujan. rintik lagu ungu
alam memotretnya. membingkai wajahmu di kerling bianglala
malaikat-malaikat dan segenap peri melambai-lambaikan sayap
menaburkan bunga-bunga. keluarkan sabda:
                        : kalianlah adam hawa itu!
Episode 2: Perahu Ini, Kekasihku
kusediakan perahu ini, kekasihku, sebagai tanda pinangan
naikilah perahu ini, kekasihku
ada sebuah lampu, serta seorang penyair di dalamnya
akan menemanimu jelajahi sudut semesta, inci demi inci
mari bentangkan layar. singgahi segala dermaga dan cakrawala
kita petik matahari lewat tangga pelangi
arungi ombak demi ombak menuju rahasia segala cinta
pelayaran ini, kekasihku
mengulang rute-rute bapa adam
saat dulu mencari wajah hawa yang hilang
bersama daun-daun surga di genggamannya
ayo, kekasihku, ayolah bentangkan layar
walau kelak gemuruh samudera akan menelan kita
ke dalam pelukannya, ke dalam pusat jantungnya.
Episode 3: Narasi Cinta yang Tersisa
ini musim untuk istirah dan bercinta
menyimak merpati kibas-kibaskan sayapnya
berkisah tentang malam yang tiba-tiba punya seribu mata
lengkap dengan purnama yang sempurna. amat sempurna
maka biarkan mawar berbiak di segenap kelenjar nadi
mengubah langit sekejap jadi biru dan angin menggantungkan
abjad-abjad namamu di jemari sayap-sayapnya
biarkan kita hikmati fatamorgana ini
sebelum waktu mengkhianatinya
menjadikannya: tiada.
biarkan kita khusyuk terdiam
mengekal di antara larik-larik sajak shakespeare
sembari menyirami mawar yang terus bertunas merah
sampai saatnya nanti ulat-ulat berbulu mencabik-cabiknya
membuat daunnya ranggas ternganga
tinggal duri-duri menjadi: dendam yang pasti.
Episode 4: Daun Gugur
bulan apa dan musim keberapa ini?
entahlah, hanya angin, sedikit kabut serta pusaran hujan dengan pagut liar.
daun-daun itu gemetar dengan puncak gigil
tak kuasa menolak cemas yang tiba-tiba jadi ular
mendesis-desis, julur di batangnya
putik-putik dibetot ke tanah. disedot dalam lahat
liang labirin penuh sarang laba-laba dan kalajengking
segenap daun memekik jerit menguap bersama debu
: bacalah! baca usia: cermin lahir dan mati.
terowongan waktu tempat nostalgia berlari-lari
memburu jarak dan catatan-catatan, petilasan yang kelak jadi tanda
segala bunga rontok sempurna. tak sempat bunting
tak ada yang sanggup menolak cemas
saat bilangan-bilangan dihitung kembali
dari nol ke sembilan. dari sembilan balik ke nol
―ini bukan sekedar laba dan rugi namun hitungan hutang
segenap daun. segenap bunga. rontok sempurna
rebah bertekuk lutut pasrah pada musim
tinggal batang meranggas kering menuding langit
bergumam: inilah fana!
Untuk mendapat makna penuh sebuah sajak, tidak boleh melupakan hubungan sejarahnya dengan keseluruhan sajak-sajak peyair sendiri, sajak-sajak sesamanya, maupun dengan sajak sastra zaman sebelumnya( Teeuw, 1983: 65). Sajak Tjahjono merupakan penyimpangan terhadap gaya realistik Chairil Anwar. Pandangan realistik Chairil ditentang dengan pandangan romantik Tjahjono. Sajak “ Episode Cinta” menunjukkan kesejajaran gagasan yang digambarkan dalam empat episode tersebut. Cahiril Anwar menggunakan ekspresi realistik, memilih kata aku dan kau sebagai teman atau lawan kehidupan.
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing
Baris puisi yang sederhana menampilkan proses kehidupan yang sederhana juga, jika penulisannya di pisah dan diberi jarak, pemaknaan puisi tersebut bermula dari sebuah nasib yang semua orang pun masih mencurigai kata nasib. Sehingga Chairil memilih kata kesunyian masing-masing dalam mengartikan nasib. /nasib adalah kesunyian masing-masing/Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Pada bait kedua kita dapati bersama bagaimana Chairil  menuntun  pembaca  untuk menentukan nasib masing-masing. Sehingga kembali memaknai kehidupan itu sendiri sebagai pilihan.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Kita berpeluk cium tidak jemu,

Rasa tak sanggup kau kulepaskan.

Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,


Menjadi sebuah kenyataan yang berperasaan, Chairil telah memulai dengan sebuah ketuntasan cinta  yang diekspresikan secara  nyata. /Kita berpeluk cium tidak jemu/ namun sebuah konsekuensi sudah berlaku terlebih dahulu. Sehingga menyatukan kehidupan merupakan suatu kemustahilan.
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!
Hingga menuju sebuah kesimpulan yang diungkap oleh Chairil, kalau sebuah cinta tidak bisa lama. Bahtera kehidupan telah ada yang memulai. Sehingga ketidatahuan akan sebuah nama asal menjadi keterbukaan hati untuk menerima kenyataan.
Sebaliknya Thahjono Windarto, dalam sajaknya itu tampak berlawanan dengan apa yang di tampilkan Chairil Anwar. Ia berpandangan romantik, si aku ingin bercerita panjang tentang proses muasal kehidupan.
Episode 1: Mozaik Cinta
hujan selalu turun dengan rintik yang sama, namun aku tak pernah bosan menungguinya
karena dalam garis-garis hujan, engkau selalu menari bersama ikan-ikan
: gemulai dan amat seksi. belum telanjang tapi lebih birahi dari egala bugil.
olala, kekasihku. ringkik kuda di taman. lirih jangkrik di semak. siapa menyimaknya?
lari. larilah bersama ringkiknya. kita berkejar-kejaran dalam seribu labirin
di antara rinai garis hujan. rintik lagu ungu
alam memotretnya. membingkai wajahmu di kerling bianglala
malaikat-malaikat dan segenap peri melambai-lambaikan sayap
menaburkan bunga-bunga. keluarkan sabda:
                        : kalianlah adam hawa itu!
Awal kehidupan layaknya rintik hujan yang tidak berhenti oleh sebuah perkiraan, karena Tuhan telah lebih dahulu menentukan kapan bermula dan berhentinya hujan tersebut. Menunggu menjadi keterasingan sebuah doa yang terus dipanjatkan untuk memulai kehidupan. /kalianlah adam hawa itu/  sebuah mozaik awal kisah cinta yang diteruskan penyebutannya hingga bermakna. Kehidupan itu layaknya adam dan hawa yang nasibnya sudah Tuhan tentukan. Selanjutnya pada bait kedua, pembaca disuguhkan alunan alur romantisme Thajono dalam mengungkap perasaan dan mengarungi kehidupan.
Episode 2: Perahu Ini, Kekasihku
kusediakan perahu ini, kekasihku, sebagai tanda pinangan
naikilah perahu ini, kekasihku
ada sebuah lampu, serta seorang penyair di dalamnya
akan menemanimu jelajahi sudut semesta, inci demi inci
mari bentangkan layar. singgahi segala dermaga dan cakrawala
kita petik matahari lewat tangga pelangi
arungi ombak demi ombak menuju rahasia segala cinta
pelayaran ini, kekasihku
mengulang rute-rute bapa adam
saat dulu mencari wajah hawa yang hilang
bersama daun-daun surga di genggamannya
ayo, kekasihku, ayolah bentangkan layar
walau kelak gemuruh samudera akan menelan kita
ke dalam pelukannya, ke dalam pusat jantungnya.
Sebuah pilihan kata /perahu/ simbol kebutuhan untuk mengarungi kehidupan, dengan segala pernak perniknya yang menyertai. Kita akan mengetahui bahwa kehidupan itu butuh segala hal yang bisa membuat kebahagiaan. Butuh segala peralatan untuk bisa menjelaskan kepada setiap masalah yang hadir. Hingga ketenangan pusat kehidupan tertunai. /ke dalam pelukannya, ke dalam pusat jantungnya/. Berbeda dengan Chairil Anwar mengungkap dengan kata realistik, singkat dan penuh makna. /Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring./.
dampingan kata yang menonjol realistik dan romantik memberikan keutuhan makna yang tertulis oleh penyair tersebut.
Pada bait ketiga, kita melihat begitu antusiasnya sebuah perjuangan cinta yang diungkap Thjahjono Berawal dari sebuah keadaan/ ini musim untuk istirahat dan bercinta/ kita akan mengenal bercinta dengan sebutan “hubungan suami istri” dengan penjelasan yang rumit dari Thajono.
Episode 3: Narasi Cinta yang Tersisa
ini musim untuk istirahat dan bercinta
menyimak merpati kibas-kibaskan sayapnya
berkisah tentang malam yang tiba-tiba punya seribu mata
lengkap dengan purnama yang sempurna. amat sempurna
maka biarkan mawar berbiak di segenap kelenjar nadi
mengubah langit sekejap jadi biru dan angin menggantungkan
abjad-abjad namamu di jemari sayap-sayapnya
biarkan kita hikmati fatamorgana ini
sebelum waktu mengkhianatinya
menjadikannya: tiada.
biarkan kita khusyuk terdiam
mengekal di antara larik-larik sajak shakespeare
sembari menyirami mawar yang terus bertunas merah
sampai saatnya nanti ulat-ulat berbulu mencabik-cabiknya
membuat daunnya ranggas ternganga
tinggal duri-duri menjadi: dendam yang pasti.
Kita mulai menikmati proses alur kata-kata Tjahjono dalam puisi Episode Cinta, yang menyimpan misteri. Kisah cinta yang dialami tidak seindah yang diharapkan / tinggal duri-duri menjadi: dendam yang pasti/ sebuah pergolakan dan penolakan atau sebuah perpecahan dari kisah cinta yang tidak bisa menyatu. Dengan memilih kata /dendam yag pasti/ lain halnya dengan kisah cinta Chairil Anwar , pada bait ketiga pengungkapan kata / Rasa tak sanggup kau kulepaskan./ Jangan satukan hidupmu dengan hidupku/  sebuah penungkapan intrik yang sama telah terjadi juga.
Dengan sebuah keputusan yang masih tanda tanya. Menanya menjadi pilihan atau sebuah pelarian atas setiap tindakan yang tidak sesuai dengan harapan. Hingga menjadi simpulan yang menunjuk dengan keadaan yang bias. Mencoba memaknai dan mencoba merasai. Chairil dengan menyebut / Aku memang tidak bisa lama bersama /Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!. Sedangkan  Tjahjono pada episode 4 baris terakhir /tinggal batang meranggas kering menuding langit bergumam: inilah fana!/  sebuah simpulan yang sama-sama menanya. Antara Chairil dan Tjahjono membiarkan dan mengembalikan kisah cintanya kepada Tuhan, walau berbeda dalam pengungkapan makna kata antara realistik dan romantik yang digunakannya.
Episode 4: Daun Gugur
bulan apa dan musim keberapa ini?
entahlah, hanya angin, sedikit kabut serta pusaran hujan dengan pagut liar.
daun-daun itu gemetar dengan puncak gigil
tak kuasa menolak cemas yang tiba-tiba jadi ular
mendesis-desis, julur di batangnya
putik-putik dibetot ke tanah. disedot dalam lahat
liang labirin penuh sarang laba-laba dan kalajengking
segenap daun memekik jerit menguap bersama debu
: bacalah! baca usia: cermin lahir dan mati.
terowongan waktu tempat nostalgia berlari-lari
memburu jarak dan catatan-catatan, petilasan yang kelak jadi tanda
segala bunga rontok sempurna. tak sempat bunting
tak ada yang sanggup menolak cemas
saat bilangan-bilangan dihitung kembali
dari nol ke sembilan. dari sembilan balik ke nol
―ini bukan sekedar laba dan rugi namun hitungan hutang
segenap daun. segenap bunga. rontok sempurna
rebah bertekuk lutut pasrah pada musim
tinggal batang meranggas kering menuding langit
bergumam: inilah fana!


TJAHJONO WIDARMANTO
Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang: Unesa, Universitas Negeri Surabaya), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan saat ini melanjutkan studi di program doctoral di Pascasarjana Unesa. Bukunya yang baru terbit: Marxisme: Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (2014). Bukunya yang terbit terdahulu: Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, 2013), Masa Depan Sastra: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai, 2011), dan Drama: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), Umayi (buku puisi, 2012), Kidung buat Tanah Tercinta (buku puisi, 2011), Mata Ibu (buku puisi, 2011), Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, 1997), Kubur Penyair (buku puisi, 2002), Kitab Kelahiran (buku puisi, 2003). Menerima Anugerah Penghargaan Seniman dan Budayawan dari Pemprov Jatim (2003), beberapa kali memenangkan sayembara menulis tingkat nasional, menghadiri berbagai pertemuan sastra nasional dan internasional. Kini dia dosen STKIP PGRI Ngawi dan guru SMA 2 Ngawi, Jawa Timur.
Tag : Puisi
0 Komentar untuk "INTERTEKSTUAL PUISI TJAHJONO WIDARMANTO TERHADAP PUISI CHAIRIL ANWAR"

Puisi Siswa: Hujan Karya Ghiffari Ramadhan MB

Hujan Karya: Ghiffari Ramadhan MB Hujan... Jikalau engau turun Maka kami semua akan senang Sebagai tanda  rasa syukur kami kepada T...

Back To Top